Selamat Datang

Selamat datang di blog yang sederhana ini. Semua yang ada di blog ini merupakan apa yang saya baca dan saya pelajari ,semoga apa yang ada di blog ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Wednesday, July 18, 2012

Antara Believer Dan Atheis(Sebuah Cerita Dari Albert Enstein)


Seorang profesor filosofi yang atheis berbicara dalam kelasnya mengenai masalah antara ilmu pengetahuan dan Tuhan. Dia bertanya pada salah seorang mahasiswa baru.

Profesor (prof): Jadi, kamu percaya pada Tuhan?

Mahasiswa (ms): Tentu, prof.

Prof: Apakah Tuhan itu baik?

Ms: Tentu

Prof: Apakah Tuhan Maha Bisa?

Ms: Ya

Prof: Saudaraku meninggal karena kanker meskipun dia telah berdoa kepada Tuhan untuk menyembuhkannya. Sebagian besar manusia, teman-teman sekitar kita akan menolong orang yang sakit. Tapi Tuhan tidak. Bagaimana Tuhan seperti ini bisa bisa dikatakan baik? Hmm..??

Ms: (Mahasiswa diam)

Prof: Kamu tidak dapat menjawab bukan? Mari kita mulai lagi. Apakah Tuhan itu baik?

Ms: Ya, tentu.

Prof: Apakah iblis itu baik?

Ms: Tidak

Prof: Dari mana datangnya iblis?

Ms: Dari....Tuhan.

Prof: Tepat. Sekarang katakan padaku, apakah di dalam dunia ini terdapat iblis?

Ms: Ya.

Prof: Iblis berada dimana-mana bukan? Dan Tuhan tidak berbuat apapun bukan?

Ms: Ya.

Prof: Jadi, siapa yang menciptakan iblis?

Ms: (Mahasiswa tersebut tidak menjawab)

Prof: Di dunia ini terdapat kesakitan? Kematian? Ketakutan? Kejelekan? Semua ini merupakan hal-hal yang mengerikan yang ada di dunia ini bukan?

Ms: Ya, prof.

Prof: Jadi, siapa yang menciptakan hal-hal tersebut?

Ms: (Mahasiswa tersebut tidak menjawab)

Prof: Ilmu pengetahuan menyebutkan bahwa kamu mempunyai 5 indera yang dipakai untuk mengetahui dan mengamati lingkungan sekitarmu. Katakan padaku nak, pernahkah kamu melihat Tuhan?

Ms: Tidak pernah prof.

Prof: Katakan padaku, apakah kamu pernah mendengar suara Tuhan-mu?

Ms: Tidak pernah prof.

Prof: Pernahkah kamu menyentuh Tuhan-mu, merasakan Tuhan-mu, mencium keberadaan Tuhan-mu? Pernahkah kamu mempunyai pengalaman dengan inderamu mengenai kehadiran Tuhan?

Ms: Tidak pernah, prof.

Prof: Lalu kamu masih percaya kepada Nya?

Ms: Ya.

Prof: Secara empiris, terukur, percobaan perlakuan, ilmu pengetahuan mengatakan Tuhan-mu tidak eksis. Apa yang dapat kamu katakan mengenai itu, nak ?

Ms: Tidak suatu apapun. Saya hanya mempunyai keyakinan saya.

Prof: Ya, keyakinan. Itulah masalah yang dihadapi ilmu pengetahuan.

Ms: Prof, apakah panas itu ada?

Prof: Tentu.

Ms: Dan tentu juga ada yang namanya dingin?

Prof: Ya.

Ms: Tidak prof. Itu tidak benar.

(Ruang perkuliahan itu menjadi sangat hening)

Ms: Prof, kau dapat merasakan panas. Lebih panas, super panas, mega panas, sedikit panas, atau tidak panas. Tapi kita tidak mempunyai 'dingin'. Kita dapat mencapai 458 derajat di bawah nol dimana tidak terdapat panas. Tapi kita tidak dapat lebih dari itu. Tidak ada yang namanya dingin. Dingin hanyalah suatu kata yang digunakan untuk mengambarkan ketidakadaan panas. Kita tidak dapat mengukur dingin. Panas adalah energi. Dingin bukanlah lawan dari panas prof, tetapi hanya ketidakadaan dari panas. (Keheningan terasa saat mahasiswa tersebut berhenti bicara)

Ms: Bagaimana dengan kegelapan prof? Apakah ada yang namanya kegelapan?

Prof: Tentu. Apakah malam itu jika tidak ada kegelapan?

Ms: Kau salah lagi prof. Kegelapan adalah ketidakadaan dari sesuatu. Kau bisa mendapatkan cahaya redup, cahaya normal, cahaya terang, cahaya yang berkedip-kedip. Tapi jika kau tidak mempunyai cahaya, kau tidak memiliki apapun dan itu disebut kegelapan, bukan? Dalam realitas kegelapan itu tidak ada. Jika ada, kau akan mampu membuat kegelapan semakin gelap bukan?

Prof: Jadi, apa maksudmu anak muda?

Ms: Prof, maksudku adalah premis filosofismu terbantahkan.

Prof: Terbantah? Dapat kau jelaskan bagaimana?

Ms: Prof, kau mencoba menjelaskan dalam premis dualitas. Kau berpendapat bahwa ada kehidupan dan kemudian ada kematian, Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Kau melihat konsep keTuhanan sebagai sesuatu yang terbatas, sesuatu yang dapat kita ukur. Prof, ilmu pengetahuan bahkan tidak dapat menjelaskan suatu pikiran. Pikiran menggunakan listrik dan magnetik, tapi tidak pernah terlihat, tidak pernah dipahami sepenuhnya oleh siapapun. Untuk melihat kematian sebagai lawan dari kehidupan adalah tidak peduli terhadap kenyataan bahwa kematian tidak dapat eksis sebagai hal yang substansial. Kematian bukanlah lawan dari kehidupan, hanya ketidakadaan kehidupan. Sekarang, katakan padaku prof, apakah kau mengajarkan mahasiswamu bahwa mereka merupakan hasil evaluasi dari monyet ?

Prof: Jika kau menarik referensi dari proses evaluasi alam, tentu, saya mengajarkan hal tersebut.

Ms : Pernahkah kau mengamati proses evaluasi dengan mata kepalamu sendiri prof ?

Prof: (Profesor tersebut menggelengkan kepalanya dengan sedikit tersenyum, mulai memahami kemana pembicaraan tersebut mengarah).

Ms : Karena tidak ada seorangpun yang pernah mengamati bagaimana proses evaluasi dan bahkan tidak dapat menjelaskan bahwa proses ini masih terus berjalan, apakah kau tidak mengajarkan sesuatu yang hanya pendapatmu, prof?

(Kelas menjadi riuh dengan bisik-bisik pelan para mahasiswa)

Ms: Apakah ada seseorang di kelas ini yang pernah melihat otak professor?

(Seketika terdengar tawa riuh dalam kelas)

Ms: Apakah ada seseorang di sini yang pernah mendengar otak professor, menyentuhnya, merasakannya, atau menciumnya?... Tidak seorangpun bukan. Jadi, menurut ketetapan empiris, percobaan perlakuan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak mempunyai otak. Dengan segala hormat prof, jadi bagaimana kami dapat mempercayai kuliahmu, prof?

(Ruangan menjadi hening. Profesor memandang kepada mahasiswa tersebut, mukanya tidak dapat di tebak)

Prof: Aku rasa, kau dan teman-temanmu harus melihatnya dengan keyakinan, nak.

Ms: Tepat prof… penghubung antara manusia dan Tuhan adalah KEYAKINAN. Itulah yang menjaga semua hal bergerak sebagaimana mestinya dan kehidupan tetap berjalan. (Tuti Haryati / ttharyati@yahoo.com)

⊕⊕⊕

Demikian percakapan mereka berakhir dengan terbantahkannya teori sang profesor oleh sang mahasiswanya. Selanjutnya, apakah dengan demikian sang profesor menjadi benar-benar percaya kepada keberadaan Tuhan? Entahlah... Tetapi setidaknya dengan jelas sudah sang profesor mengakui bahwasannya teorinya tentang keTuhanan sudah keliru, dan mengakui sanggahan sang mahasiswanyalah yang tersebut benar.

Tentu saja penjabaran pada tiap-tiap hal bisa saja berbeda, karena kita harus mengikuti kontek suatu hal tersebut. Begitu juga antara filsafat, sains, dan ilmu agama ada perbedaan mencolok. Filsafat dan sains kita sudah tahu, keduanya jelas-jelas tidak mampu menjabarkan sepenuhnya apa itu agama dan ilmu-ilmunya yang didalamnya mengandung sebuah keyakinan. Bahwasannya Tuhan tidak bisa di kaitkan dengan akal pikiran manusia sebab akal pikiran manusia terbatas dan tak dapat sampai kepada akal pikiran kita, dan kita wajib untuk meyakininya.

Keyakinan, semangat, iman, ketaqwaan, dan hal-hal berkaitan dengan keTuhannan tidak dapat dijabarkan oleh akal manusia, sebab akal pikiran manusia terbatas dan tak dapat sampai kepada akal pikiran kita, semua kembali kepada zat yang Maha Agung.

Bukankah dalam hidup ini sejatinya telah terjalin satu sama lain, seperti juga halnya dengan agama, filsafat, dan sains?
Bukankah ilmu tanpa agama akan buta, dan agama tanpa ilmu akan lumpuh?
Bukankah agama tanpa filsafat akan tersesat dan filsafat tanpa agama akan mendapat laknat?
Bukankah agama adalah jalan menuju kebenaran, dan filsafat adalah jalan mencari kebenaran?
Dan pada akhirnya, ilmulah yang akan mengantarkan kita kepada kebenaran.


sumber

1 comment:

  1. hohhohohoho,
    ...tuhan itu adil,,pak prof mungkin tak menghayati tentang sebuah keadilan,,hahahaa

    ReplyDelete

Pengunjung yang baik itu adalah yang meninggalkan jejak,berkomentarla dengan sopan dan santun :)